Sukabumi,
21 Maret 2013
13.28 WIB
Fitri Rahayu,
Aku
menggeram, melihat pantulan diriku di depan cermin. Aku berbicara. Tak jarang
aku memaki diriku sendiri di depan cermin tersebut. Hari itu tanggal 20
februari, dimana aku berulangtahun, dimana umurku selalu berkurang setiap
tahunnya. Aku mendesah, ingin rasanya aku kembali pada masa kecilku, masa kecil
yang damai dan tak peduli seberapa kuatnya aku dapat memanfaatkan waktu. Kini,
semuanya sudah terlambat.
"Umurmu sudah 16. Tanggung jawabmu semakin berat, Nona!"
aku menggerutu, menatap tajam wajahku. "Aku gila! Kenapa pula aku
berbicara pada cermin bodoh, yang memang tak bernyawa?"
Aku semakin geram, aku mundur beberapa langkah dan berpaling
menjauhi cermin jelek itu. Aku duduk kasar diranjang tempat tidur dengan
menggenggam secarik kertas yang sedari tadi membuat tanganku berkeringat
dibuatnya. Perlahan, kulirik dalam-dalam secarik kertas yang berisi sebuah
tuntutan yang memaksaku untuk menyelesaikan misi itu. Ya, sebuah tugas yang
memerintahku untuk berani. Samar-samar aku mendengar, entah melamun atau apa,
yang jelas sebuah bisikkan masuk ke indra pendengaranku, "maju, Nak! Dunia
ini tidak membutuhkan seorang pengecut pendiam, yang selalu menghindar dari
masalah! Kau sudah 16, buat suatu karya yang membuat dirimu lebih dewasa, lebih
berani dari pada kemarin dan hari ini!" Aku mendengus kesal mendengarnya,
entah apa yang merasukiku, aku begitu emosi pada saat itu. "Raih aku lebih
dekat dengan wajahmu! Bacalah aku, dan jangan sampai matamu lepas melewatkan
satu kata pun! Aku memang secarik kertas, sebuah pena dari jari jemari manislah
yang telah membuatku lebih berharga, telah kau ukir kata-kata indah dipermukaan
kertasku. Kata-kata itu melekat dan menjadikanku sangat berarti. Aku sangat
setia pada satu orang majikan. Kau tahu? Aku hanya setia pada majikan yang
selalu ingin berpikir. Aku relakan satu nyawaku ini hanya untuk dirimu,
majikanku. Asalkan dirimu memang benar-benar optimis menggapai impian yang kau
tulis dipermukaan kertasku ini. Jangan kau lempar aku lagi ke tempat memuakkan
itu, tempat sampah kotor! Kau harus yakin, kau pasti bisa, majikanku. Ayo..
bersemangatlah! Dan, aku mohon padamu majikan, selalu bertawakal lah hanya kepada
Allah. Zat yang telah menciptakan skenario hidupmu! Dengarkan permadani lantai.
Ya, berlutut dan berdoalah sebelum kau melangkah lebih jauh lagi! Dan.. oh ya,
satu lagi, siapa bilang cermin itu benda tak bernyawa yang bodoh, yang tak
berguna seperti yag kau katakan? Haha.. kau salah besar, Nak! Cermin yang kau
bilang jelek itu adalah cerminan sikapmu! Jadi, siapa yang bodoh, jelek dan tak
berguna?" Nada bisikkan itu semakin tinggi, membuatku ngeri. Aku merasa
diriku ini adalah makhkuk yang bodoh! Bisikkan itu menunggu perkataan yang
keluar dari celah-celah bibirku, aku berpikir keras dan mencoba mencari satu
kata kepuasan yang membuatnya bangga. Namun, tetaplah aku memang salah! Yang
bodoh, jelek dan tak berguna itu adalah... aku! Diriku sendiri! "Beruntunglah
kau memiliki cermin yang dapat memberitahumu sikap dan langkah-langkah yang
seharusnya kau luruskan! Tapi aku, kau lihat? Aku tidak bisa berkaca, melihat
benar atau tidakknya kata-kata yang dilukiskan oleh pena.. aku hanya bisa
terdiam menyaksikan goresan-goresan pena yang aku biarkan menggulung memenuhi
isi kertasku. Aku sama halnya sepertimu, aku hanya ingin menjadi lebih baik dan
lebih berharga tentunya. Oleh karena itu, wahai majikan... buatlah dengan
serius daftar-daftar impian citamu, bertanggungjawablah atas goresan tulisan
indahmu itu. Sehingga, dengan itu, aku bisa mengetahui bahwa aku selalu berada
dijalan yang lurus. Lantas, bagaimana aku bercermin? Aku bercermin melalui
dirimu, majikan. Ketika aku salah, kau segera menghapusnya dan menulis ulang
kata-kata yang lebih indah, sehingga aku mengetahui kesalahan-kesalahanku. Aku
menyerahkan satu nyawaku ini hanya demi istimewanya bait kata indahmu. Aku
membiarkan permukaan kertasku cacat, tapi kau harus bertanggungjawab akan itu,
majikan! Kau harus mewujudkan cita cinta masa depanmu yang tertulis dipermukaan
kertasku ini. Nanti, ketika aku tersobek, ketika aku telah berubah wujud
menjadi setumpukkan kertas tak berdaya, bahkan ketika aku telah hilang tersapu
angin sekali pun, kau harus mengetahui bahwa, kata-kata indahmu itu masih
melekat erat dipermukaan kertasku. Kau tak perlu mencari-cari kemana kertasku
pergi, tak perlu bersusah payah menangisinya, yang harus kau lakukan
hanyalah... hanyalah mewujudkan mimpi-mimpi besarmu yang pernah kau goreskan
dipermukaan kertasku itu. Karena sesungguhnya, aku ini hanyalah alat penyimpan
saja, tidak lebih dari itu! Semuanya bergantung padamu, cita asamu ada
dibenakmu, tempat abadi yang tidak akan pernah cacat. Bekerja keras dan
berdoalah, majikan! Dengan itu, aku menjadi secarik kertas yang berguna. Dan
ingat, resapilah sikap-sikapmu sebelum bertindak, biarkan cermin itu menilai
dirimu, karena itu memang benar adanya. Pantulan dirimu. Bukalah
lipatan-lipatan usang diriku dan bacalah dalam-dalam! Dengarkan aku, aku
mohon... wujudkan asa citamu demi masa depan."
Aku menoleh menatap lemas secarik kertas berhargaku, aku baca dan
pahami setiap kata per katanya. Memang benar! Tepat sekali apa yang baru saja
dikatakan oleh bisikkan yang mengusikku itu. Aku berdiri dan melangkah perlahan
menuju cermin. Aku terdiam mencoba menatap lekat-lekat bayanganku dicermin.
Beberapa saat kemudian, aku teringat akan suatu makian damai yang sampai saat
ini masih merasuki relung jiwaku.
Buku ajaib itu, memberitahuku arti apa dari suatu mimpi yang
selalu menggentayangi setiap pemikir demi kesuksesan masa depannya. Buku itu
berkutik, "Setiap saat kau berangan-angan akan berdirinya toko besarmu
yang memiliki cabang dimana-mana, tapi setiap pagi pula kau sibuk pergi ke
supermarket dan membeli semua kebutuhan panganmu. Pikirkanlah bagaimana itu
bisa terjadi! Ketika kau dengan gesit pergi membeli sesuatu ke supermarket,
pikirkanlah bagaimana seseorang telah menghitung banyaknya jumlah uang di
belakang meja kasir, setiap paginya."
"Aku paham." aku menganggukan pelan kepalaku dan tanpa
sadar mataku sembab karena air yang terus menerus mengalir dari balik kelopak
mataku. Bisikkan itu datang mengusikku lagi, seolah tahu apa yang tengah aku
pikirkan, dan bisikkan itu berkata, "ya, itu tepat sekali! Pada dasarnya,
mimpi itu tidak akan terwujud kecuali kau berusaha dan memulainya dengan
segera. Akan tetpi, jika suatu mimpi tidak dibarengi dengan kerja keras,
mustahil akan terjadi. Majikan, kau boleh bermimpi setinggi langit, tapi jangan
lupa daratan..."
". . . bila aku terus berangan-angan, kapan aku akan
berhasil? Yang ada, aku tertinggal jauh dengan mereka, orang yang selalu
berpikir dan bekerja keras." ucapku yang memotong perkataan bisikkan itu.
"Dan. . . jangan lupa untuk berlutut dan berdoa kepada Sang
Pencipta." sambung bisikkan secarik kertas itu.
"Allah, S.W.T." ucapku mantap.
Kini, aku paham apa yang harus aku lakukan sekarang. Sudah jelas.
Semoga ini dapat terwujud. Aamiin :) Ayah, Ibu.. semoga kalian tidak menyesal
mempunyai anak seperti aku..