Selasa, 16 April 2013

Sekedar Kabar Waktu;


09.34 am

Sebuah percakapan yang memang harus aku hadapi keberadaannya. 
Sore itu, aku menghela napas panjang selama berada di dalam angkutan umum. Mengistirahatkan pikiran dan ragaku yang letih karena terus menerus mendorongku untuk memaksa merajut cita. Aku menenggelamkan pandanganku sesaat dan kembali melirik orang-orang yang berada di depanku: beberapa orang temanku dan orang tua. Aku bercakap tentang hal yang tak begitu penting, obrolan biasa yang sering kami ucapkan sebagai sahabat. Kadang aku tak mengerti apa yang aku tertawakan, sehingga hatiku melayang tidak di sana, tidak bersama orang-orang di sekelilingku, tidak di dalam angkutan umum itu. Beberapa menit kemudian, aku tidak menyadari bahwa angkutan umum yang aku tumpangi ini begitu cepat mengantarku pulang ke rumah. Aku berpamitan dengan teman-temanku dan melangkah untuk pulang. Aku tidak sendiri, aku ditemani seorang perempuan manis yang dua tahun lebih tua dariku. Dia adalah kakak kelasku. Canggung. Kami tidak saling bertegur sapa, hanya segaris senyum yang menghangatkan keberadaan kami. Hingga pada akhirnya, aku mencoba untuk mengajak mengobrol. Seperti ini..

Aku: "Teh, sewaktu SMP sekolah di Gunungguruh 2?" aku menanyakan itu karena, wajahnya pernah aku lihat sewaktu aku masih SMP dulu. Aku berpikir, mungkin dia kakak kelasku juga waktu itu.

Tetehnya: "Bukan, teteh sekolah di Yasti." jawabnya ramah. Memang, teteh ini sangat ramah kepada setiap orang. Aku tahu karena, aku melihat caranya bersosialisasi di sekolah, di SMAN 1 Cisaat. Dimana aku menduduki bangku pertamaku sekarang.

Aku: "Oh maap teh, dikira sekolah di Gunungguruh 2.. (nyengir). . soalnya waktu SMP aku sekolah di sana dan pernah ngeliat kakak kelasku yang mirip banget sama teteh. Jadi, aku kira teteh sekolah di sana."

Tetehnya: "Hehe iya ga apa-apa kok. Oh, kamu sekolah di sana."

Aku: "Iya, teh."

Hening. Hanya angin sepoi yang melanjutkan obrolan kami. Kami berjalan memasuki gang, yang memang rumah kami bertuju satu arah. Tapi, beberapa saat kemudian..

Tetehnya: "Minggu depan libur ya.. aciee"

Aku: "Hehe iya teh. Sukses ya sama UNnya. Semoga lancar."

Tetehnya: "Aamiin.. iya makasih."

Aku: "Ngg.. rencananya mau dilanjut ke mana, teh?"

Tetehnya: "Insyaallah ke IPB."

Aku: "Oh.. semangat ya teh, semoga segala sesuatunya berjalan dengan baik."

Tetehnya: "Iya, semoga.. makasih. Nggak kerasa deh udah mau kuliah aja, rasanya baru kemarin masuk SMA dan sekarang, waktunya memulai lomba dan terjun ke masyarakat, demi awal kehidupan yang sesungguhnya "

Aku: "Iya bener banget, teh. Waktu emang nggak kerasa. Aku juga kayak baru kemarin daftar jadi siswa SMA, sekarang udah mau naik kelas aja."

Hanya tinggal beberapa langkah lagi aku sampai di rumahku. Bangunan rumah yang dahulu bercat orange segar, kini telah berubah menjadi putih usang dan rapuh, sebuah istana damai yang menjadi saksi hidup tumbuhnya pertambahan umurku. Aku menoleh menatap perempuan yang tengah berjuang menjadi pemimpin, kakak kelasku. Seraya berkata,

Aku: "Teh, aku duluan ya. Mampir dulu atuh ke rumah."

"Tetehnya: "Iya mangga, teteh mau langsung pulang aja, makasih. Mari."

          Sesungging senyuman lebar saling kami lemparkan sebagai tanda perpisahan kami. Aku berjalan gontai menuju ambang pintu. Setelah kuucap salam kepada Ibundaku, aku langsung terdiam dan merenungkan percakapan yang baru saja kami lontarkan. Aku berpikir, mencerna beberapa kalimat yang membuatku begitu tak kuasa untuk aku hadapi: nggak kerasa deh udah mau kuliah aja, rasanya baru kemarin masuk SMA dan sekarang, waktunya memulai lomba dan terjun ke masyarakat, demi awal kehidupan yang sesungguhnya. Dahulu, sewaktu aku masih kecil, aku tidak memiliki beban yang begitu berat seperti sekarang ini, kurasa. Aku menikmati masa kanak-kanakku. Kini, aku tumbuh dan dan tak bisa memutar ataupun memperlambat waktu. Kaki ini terus melangkah.. melangkah mengikuti suara hati. Pijakkan bumi yang memaksa untuk terus tumbuh. Aku pikir, semua ini akan mudah untuk aku lewati. Tapi, perlahan rahasia nyata terkoyak! Terungkap setiap jati diri yang hidup. Aku tidak bisa menghindar dan mengelak. 

Aku menghirup panjang udara sore dan menghempaskannya secara perlahan. Berulang-ulang kulakukan itu. Aku tak akan pernah tahu hal apa yang selanjutnya akan aku hadapi, namun aku harus siap, harus siap. Sampai pada akhirnya, aku menyadari bahwa semua ini bukan untuk ditakuti maupun dihindari, melainkan, ini semua harus aku hadapi. Harus aku hadapi sebaik yang aku bisa. Dan, kaki ini akan terus melangkah... segera berlabuh pada satu kekuatan bahagia, sukses. Semoga.
Sukabumi, 16 April 2013
Fitri

Tidak ada komentar: