09.34 am
Sebuah percakapan
yang memang harus aku hadapi keberadaannya.
Sore itu, aku
menghela napas panjang selama berada di dalam angkutan umum. Mengistirahatkan
pikiran dan ragaku yang letih karena terus menerus mendorongku untuk memaksa
merajut cita. Aku menenggelamkan pandanganku sesaat dan kembali melirik orang-orang
yang berada di depanku: beberapa orang temanku dan orang tua. Aku bercakap
tentang hal yang tak begitu penting, obrolan biasa yang sering kami ucapkan
sebagai sahabat. Kadang aku tak mengerti apa yang aku tertawakan, sehingga
hatiku melayang tidak di sana, tidak bersama orang-orang di sekelilingku, tidak
di dalam angkutan umum itu. Beberapa menit kemudian, aku tidak menyadari bahwa
angkutan umum yang aku tumpangi ini begitu cepat mengantarku pulang ke rumah.
Aku berpamitan dengan teman-temanku dan melangkah untuk pulang. Aku tidak
sendiri, aku ditemani seorang perempuan manis yang dua tahun lebih tua dariku.
Dia adalah kakak kelasku. Canggung. Kami tidak saling bertegur sapa, hanya
segaris senyum yang menghangatkan keberadaan kami. Hingga pada akhirnya, aku
mencoba untuk mengajak mengobrol. Seperti ini..
Aku: "Teh,
sewaktu SMP sekolah di Gunungguruh 2?" aku menanyakan itu karena, wajahnya
pernah aku lihat sewaktu aku masih SMP dulu. Aku berpikir, mungkin dia kakak
kelasku juga waktu itu.
Tetehnya: "Bukan,
teteh sekolah di Yasti." jawabnya ramah. Memang, teteh ini sangat ramah
kepada setiap orang. Aku tahu karena, aku melihat caranya bersosialisasi di
sekolah, di SMAN 1 Cisaat. Dimana aku menduduki bangku pertamaku sekarang.
Aku: "Oh maap
teh, dikira sekolah di Gunungguruh 2.. (nyengir). . soalnya waktu SMP aku
sekolah di sana dan pernah ngeliat kakak kelasku yang mirip banget sama teteh.
Jadi, aku kira teteh sekolah di sana."
Tetehnya: "Hehe
iya ga apa-apa kok. Oh, kamu sekolah di sana."
Aku: "Iya,
teh."
Hening. Hanya angin
sepoi yang melanjutkan obrolan kami. Kami berjalan memasuki gang, yang memang
rumah kami bertuju satu arah. Tapi, beberapa saat kemudian..
Tetehnya:
"Minggu depan libur ya.. aciee"
Aku: "Hehe iya
teh. Sukses ya sama UNnya. Semoga lancar."
Tetehnya:
"Aamiin.. iya makasih."
Aku: "Ngg..
rencananya mau dilanjut ke mana, teh?"
Tetehnya:
"Insyaallah ke IPB."
Aku: "Oh..
semangat ya teh, semoga segala sesuatunya berjalan dengan baik."
Tetehnya: "Iya,
semoga.. makasih. Nggak kerasa deh udah mau kuliah aja, rasanya baru kemarin
masuk SMA dan sekarang, waktunya memulai lomba dan terjun ke masyarakat, demi
awal kehidupan yang sesungguhnya "
Aku: "Iya bener
banget, teh. Waktu emang nggak kerasa. Aku juga kayak baru kemarin daftar jadi
siswa SMA, sekarang udah mau naik kelas aja."
Hanya tinggal
beberapa langkah lagi aku sampai di rumahku. Bangunan rumah yang dahulu bercat
orange segar, kini telah berubah menjadi putih usang dan rapuh, sebuah istana
damai yang menjadi saksi hidup tumbuhnya pertambahan umurku. Aku menoleh
menatap perempuan yang tengah berjuang menjadi pemimpin, kakak kelasku. Seraya
berkata,
Aku: "Teh, aku
duluan ya. Mampir dulu atuh ke rumah."
"Tetehnya:
"Iya mangga, teteh
mau langsung pulang aja, makasih. Mari."
Sesungging senyuman lebar saling kami lemparkan sebagai tanda
perpisahan kami. Aku berjalan gontai menuju ambang pintu. Setelah kuucap salam
kepada Ibundaku, aku langsung terdiam dan merenungkan percakapan yang baru saja
kami lontarkan. Aku berpikir, mencerna beberapa kalimat yang membuatku begitu
tak kuasa untuk aku hadapi: nggak
kerasa deh udah mau kuliah aja, rasanya baru kemarin masuk SMA dan sekarang,
waktunya memulai lomba dan terjun ke masyarakat, demi awal kehidupan yang
sesungguhnya. Dahulu, sewaktu
aku masih kecil, aku tidak memiliki beban yang begitu berat seperti sekarang
ini, kurasa. Aku menikmati masa kanak-kanakku. Kini, aku tumbuh dan dan tak
bisa memutar ataupun memperlambat waktu. Kaki ini terus melangkah.. melangkah
mengikuti suara hati. Pijakkan bumi yang memaksa untuk terus tumbuh. Aku pikir,
semua ini akan mudah untuk aku lewati. Tapi, perlahan rahasia nyata terkoyak!
Terungkap setiap jati diri yang hidup. Aku tidak bisa menghindar dan
mengelak.
Aku menghirup panjang
udara sore dan menghempaskannya secara perlahan. Berulang-ulang kulakukan itu.
Aku tak akan pernah tahu hal apa yang selanjutnya akan aku hadapi, namun aku
harus siap, harus siap. Sampai pada akhirnya, aku menyadari bahwa semua ini
bukan untuk ditakuti maupun dihindari, melainkan, ini semua harus aku hadapi.
Harus aku hadapi sebaik yang aku bisa. Dan, kaki ini akan terus melangkah...
segera berlabuh pada satu kekuatan bahagia, sukses. Semoga.
Sukabumi, 16 April
2013
Fitri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar