Sabtu, 01 Juni 2013

Canggung


Ah, canggung. Mungkin, karena kami sudah lama tidak berjumpa, kami jarang bertatap muka, bahkan berkomunikasi pun enggan.
 Kami berjabat tangan, saling bertegur sapa, namun. . . pada akhirnya hanya seulas senyum kaku yang melanjutkan obrolan kami. Senyum itu, sapaan itu, terasa dingin menjalar seluruh permukaan kulit. Kami hanya melontarkan “ya”, dan anggukan kepala. Dan lagi-lagi hanya senyum kaku yang saling berpaut. Kami hanya menceritakan kisah lama, mungkin karena tidak tahu apa yang seharusnya kami bicarakan.
Aku rasa, ini semua akan terasa menyenangkan, aku rasa ini semua akan hangat seperti hubungan kami sewaktu dulu. Ingin rasanya aku tiba-tiba menghilang dari hadapan mereka. Ah, sungguh canggung. Kaku. Aku merasa tidak seperti dulu, atau mungkin mereka yang berubah, mereka tidak seperti dulu. Yang jelas, aku tidak kenal mereka yang sekarang. Dan mungkin mereka juga tidak mengenalku.
Pertemuan kaku itu, pertemuan singkat itu sangat membuatku lelah. Seharusnya pelukan hangat saling mendekap pertemuan kami, dengan sedikit nada rindu seharusnya terlontarkan di antara kami. Aku hanya tidak ingin kehilangan mereka suatu saat nanti. Karena mereka, merupakan suatu momen yang pernah kami rajut bersama. Hanya dengan cara kami suatu momen itu dapat terbentuk. Suatu momen yang takkan pernah bisa tergantikan oleh orang lain. Hanya aku, dia, dan mereka.
Canggug. Segalanya serba canggung. Sangat canggung.
Aku ingat bagaimana mereka dengan nyamannya menceritakan kisah klasik, kisah tabu sekali pun. Mereka tergelak, aku ikut terhanyut bersama mereka. Sungguh indah waktu itu. Sungguh bersahabat.
Aku bingung. Bagaimana bisa kami yang sehangat dulu berubah menjadi sedingin es sekarang ini. Aneh. Ke mana kisah nyaman kami yang selalu dilontarkan dulu? Hmm, hilang, benarkah? Ah, mustahil. Mungkinkah itu semua disebabkan karena kami memang jarang berinteraksi satu sama lain? Ya, hmm, benarkah? Namun, apabila kami saling berinteraksi satu sama lain, mungkinkah kami akan tetap hangat sewaktu dulu? Ah, entahlah.
Aku berharap, ini semua hanya kurangnya waktu bersama saja. Mungkin, jika kami sering berjumpa, akankah rasa canggung itu sirna?


               


Bruno Mars

Y
a, Peter Gene Hernandez, atau. . . Bruno Mars, itu benar adanya, itu memang benar  kau. Menurutku, kau Bruno Mars sang penulis lagu asal Hawaii itu. Belakangan, aku tahu kau pasti
Bruno Mars sang penyanyi L.A—Amerika Serikat itu.  Sebuah topi yang sedikit kau miringkan ketika kau memakainya—hingga menutupi sebagian sudut matamu—telah menjadi cirimu tersendiri—itu pasti kau, Bruno Mars. Kau unik. Kau tinggi. Memikat banyak gadis. Tak jarang, kau berpacaran dengan salah satu diantara mereka. Namun sepertinya, kau sedikit malu-malu.
Kau tahu? Ketika aku mendengar namamu untuk yang pertama kali, aku tertarik untuk mengenalmu. Secara tak langsung, kau selalu terngiang di benakku. Dan, aku benci mengalami semua ini. Namun, harus kuakui, kau memang pandai merangkai kata, hingga beribu baris lagu membuncah, menghipnotis para pendengarmu. Kau bagai pujangga kecil untukku. Ah, mungkin, pujangga tangguh.   
Sebetulnya, setiap aku melihatmu, aku mengutuk diriku sendiri. Karena, ini memang dosa besar. Aku tidak boleh melakukannya. Sulit bagiku untuk tidak melirikmu ketika kau muncul dari balik tembok panggung yang megah  nan kaya itu. Ketika dosa itu aku lakukan, tak jarang kau selalu menangkap pandangan jauhku. Sekilas, kau selalu memberikan tatapan unik itu—perhatian sekaligus misterius. Dan, itu yang membuatku selalu tak luput untuk menatapmu, melirik bait lagu yang selalu kau dendangkan kepada semua pendengarmu, kepadaku.
Sihir apa yang kau gunakan ketika kau mengalunkan merdu bait lagumu itu? Mantra apa yang kau lontarkan ketika para pendengarmu berpaling, namun pada akhirnya mereka—aku selalu kembali ke nyamannya gaya topi miringmu itu?
Tidakkah kau tahu? Kau adalah Bruno Mars yang ada di balik tembok popularitas itu. Kau adalah Bruno Marsku—Bruno Mars mereka. Dimana-mana, inisial namamu tertera di berbagai sudut meja media.

Suatu waktu nanti, ketika aku lewat di depanmu, akankah kau menyanyikanku satu lagu andalanmu yang unik itu? Akankah kau—Bruno Mars—mengalunkan bait lagu Just The Way You Are dengan petikan gitar yang selalu kau mainkan itu, kepadaku? Dan, keberatankah kau kupanggil Bruno Mars?